Senin, 12 Maret 2012

Penduduk Lokal Kawah Ijen

Nyenk yang ternyata lahir di sekitar Kawah Ijen sejak jaman Jepang dahulu...

Kamis, 16 Februari 2012

Tembi Rumah Budaya

Saya kebetulan tinggal di Jogja bulan ini. yah, menikmati Jogja dengan cara orang Jogja sendiri… memang serasa berada di kota yang menggeliat industri pariwistanya seperti halnya Surabaya dan kota satelit sekitarnya yang terus berkembang industri manufacturingnya. Saat kita tak menjadi turis di kota ini semua terasa biasa saja, kecuali bahwa lingkungan masyarakatnya yang terasa khas berbeda dengan kota-kota lain. Seorang teman pernah bilang bahwa tatanan kota di negeri ini semuanya hampir seragam kecuali dua daerah yang menonjol, yaitu Jogja dan Bali. Dua daerah ini masih cukup kuat mempertahankan dan karenanya  menarik orang dengan budayanya untuk terus berkunjung ke sana.
Kemarin, Abi, teman dari teater Universitas Mulawarman Samarinda, secara kebetulan juga sedang berlibur bersama keluarganya di Jogja. Meski sebenarnya dia bermaksud untuk melancong sendiri bersama kami. ya, dia memang berencana untuk tinggal di Jogja. Melanjutkan studinya ke tingkat S2 di ISI. Saya sendiri memang tak terlalu tertarik dengan tourist spot where alotta tourists crowding around them. I don’t feel much comfy in those kinda places. Therefore, sebenarnya kami sedang mencari hal yang sangat berbeda dari Jogja. Yah.. sesuatu seperti JHF (Jogja Hip-hop Foundation ) atau wisata teatrikal yang mungkin menarik, asalkan tempat itu tak penuh dengan tourist.
Meski tak berhasil menemukan JHF setidaknya kami bisa menemukan salah satu spot Marzuki Muhamad pernah manggung bareng Soimah, Tembi Rumah Budaya. JHF memang telah menjadi hal yang mengagumkan bagiku dan beberapa teman pecinta hp-hop, rhyme, dan puisi. Bagi kami ini sebuah fenomena budaya yang menarik. Benar-benar hip-hop dan benar-benar Jawa. Ouh… I love this.
Ok. Its Tembi Rumah Budaya… berada di Jl Parangtritis km 8.5, Bantul. Saya suka suasana kuno yang bisa diciptakan dari bangunan yang berusia muda ini. ada tempat latihan teatrikal, permainan Jawa, music traditional, panggung terbuka di buritan, kolam renang, restoran, dan  yang yang paling membuat saya betah sekali lagi adalah suasana kuno yang bisa diciptakannya.

galerinya saya taruh di JESUSKARTO gara2 upload di sini bermasalah terus..

Sabtu, 02 Oktober 2010

Pantai Bedul Banyuwangi


Pada idul fitri kemarin saya berkunjung ke Eko Wisata Hutan Bakau Bedul, sebuah tempat wisata pantai yag merupakan bagian dari Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi Jawa timur. Tempat ini menyajikan pemandangan hutan bakau yang sangat rimbun. Dipenuhi dengan satwa khas hutan bakau tropis.


Tempat ini terletak di kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi selatan, sekitas 45 km dari kota Banyuwangi. Mudah di akses dari Jalan Grajagan Purwoharjo. Sebelum mencapai pantai Grajagan di tengah hutan terdapat pertigaan yang memampang penunjuk arah ke Bedul, jalan yang dilalui sudah beraspal. Namun beberapa km menjelang pantai jalur yang dilalui berubah menjadi sebuah jalan aspal yang lebarnya hanya sekitar 5 meter dengan kondisi jalan yang secara umum masih baik. Sepanjang jalur, penunjuk arah terpampang dengan jelas sehingga tidak membingungkan.

Bedul masih tergolong baru dibuka untuk umum, namun fasilitasnya cukup memadai. Terdapat lahan parker yang cukup luas untuk motor dan mobil. Di tempat itu pula terdapat fasilitas umum seperti toilet dan musola, dan tentu saja berjajar banyak warung yang menyajikan berbagai makanan dengan harga yang sangat terjangkau.

Wisata yang ditawarkan adalah hutan bakau yang terentang di sepanjang garis pantai teluk, hutan rimbun dengan berbagai satwa liar, serta pantai yang menghadap ke lautan selatan yang berjarak sekitar 1,8 km dari garis teluk. Pengunjung bisa menyebrang ke hutan lindung untuk kemudian berjalan ke pantai serta menyaksikan berbagai satwa liar (jika beruntung Anda bisa menemui kijang, babi hutan, serta burung merak), atau menyusuri teluk dengan menggunakan perahu yang tersedia.

Kunjungan saya pertama kali ke Bedul pada bulan Juni 2010. Saat itu pengunjung masih sepi karena memang bukan pada saat liburan. Semua tampak bersih, dan asri. Saya sangat kagum saat itu, karena semuanya masih asri. Saya pikir ini adalah wahana yang hebat untuk mengenalkan masyarakat pada pentingnya keseimbangan alam, dengan adanya hutan lindung serta hutan bakau yang masih sangat terawat. Selama perjalanan menuju penyebrangan di sisi jalan terdapat banyak benih bakau yang dirawat dengan baik oleh pihak taman nasional untuk kelestarian habitat pantai.

Setelah menyebrangi teluk saya melanjutkan perjalanan ke pantai melalui hutan lindung. Bersama teman-teman, saya sengaja tak memilih jalur yang tersedia karena kami memang suka bertualang di alam bebas. Jalan setapak yang kami tempuh terputus di tengah hutan, dari situ kami hanya menandai arah yang harus kami tuju tanpa mengikuti jalan apapun. Di sepanjang jalur terdapat banyak bekas babi hutan menggosokkan tubuhnya ke kulit pohon, serta jejak telapak kaki berbagai hewan liar.

Kami juga sempat menyaksikan burung merak liar yang hanya berjarak sekitar 10 meter dari kami. Bagi saya itu adalah yang pertama kali menyaksikan merak liar di habitat aslinya. Ahirnya kami mencapai pantai laut selatan.

Berbeda dengan bulan Juni itu, pada September lalu banyak yang berubah. Jumlah pengunjung tentu menigkat drastis karena saat itu bertepatan dengan liburan Idul Fitri 1431 H. Namun bukan itu yang membuat saya agak gelisah. Sikap pengunjunglah yang membuat kondisi hutan ini semakin tak terjamin kelestariannya. Saya mandi di pantai bersama teman-teman, di sana kami berenang menikmati ombak, bermain pasir bersama dengan sampah-sampah plastic yang berserakan di pantai. Hanya berselang 3 bulan dan semuanya telah berubah.

Ada petugas kebersihan pantai yang berjaga selama dibukanya fasilitas ini. Namun saya pikir bukan berarti kita bisa dengan seenaknya membuang sampah dengan sembarangan terutama di laut. Rombongan kami pun tak mungkin membawa pulang sampah yang kami hasilkan dari sisa-sisa bungkus makanan dan minuman, namun setidaknya teman-teman juga sadar bahwa kita harus mengumpulkan sampah di satu tempat sehingga petugas kebersihan tak terlalu berat mengelola sampahnya. Hal ini sama sekali tak berhubungan dengan pekerjaan mereka sebagai pemungut sampah, namun lebih dari itu, ini adalah hutan kita sendiri yang tersisa untuk dilestarikan.

Saya melihat banyak mahasiswa local baik yang kuliah di Banyuwangi atau pun di luar kota. Penampilannya rapi, entah karena bersama pasangannya atau memang saat itu Idul Fitri, sayang perilakunya tak merepresentasikan statusnya. Mereka bersikap cuek terhadap kebersihan lingkungan, saya sempat melihat beberapa kali mereka membuang botol plastic minuman saat menunggu antrian tiket di penyebrangan.

Beginilah jika kita hanya menganggap wisata alam sebagai tempat melancong, menghilangkan penat, berlibur bersama pasangan tercinta, tanpa ada rasa memiliki terhadap alam itu sendiri. Saya yakin kepentingan umum harus didahulukan di atas kepentingan pribadi atau golongan. Anda bisa tinggal di rumah yang sangat kumuh, mengkonsumsi alcohol, malas merapikan ruangan dan lain-lain. Namun, Anda tak pernah berhak untuk mengganggu fasilitas yang menjadi hak khalayak umum. Sehingga asalkan tidak mengganggu orang lain pada dasarnya Anda bisa melakukan apapun. Mengotori kamar sendiri tak akan mengganggu kamar orang lain, asalkan baunya tak menyebar ke mana-mana.
(foto-foto ini saya ambil pada kunjungan pertama Juni 2010)

Sabtu, 29 November 2008

Merapi Touring

In Java there are two mounts that are called Merapi. The more talked one is in Jogjakarta and the other one is in Banyuwangi East java (located in Ijen Mountain). Here in this article I’d like to talk lil bit about exploring Merapi Jogjakarta, however actually the tour is around Magelang (north word from Jogjakarta) so its automatically north side of Merapi itself. Ok…

In this tour there are two main objects to visit, which are natural objects and building objects. Merbabu-Merapi route (that’s exploring or touring along the route between Merapi and Merbabu mount) is a route that connects Magelang with Surakarta (Solo) through the area between Merapi and Merbabu’s “foot”. This alternative route consist of well tarred road about 60 Km long. Along this road we can meet many tourist spots to visit, like blocks of old Hindu temples from old Mataram kingdom in Km -25 (from Magelang), Merapi Pass (monitoring base) in Km-30, Kedungkayang waterfall in Km-35, and in Km-40 (right on Merapi slope) there is a lil town to take a rest called Selo. From Selo, we can climb up Merapi in 4 hours.


Merapi lava visible from Selo Boyolali, (image from:aksicepattanggap.com)

With lava eruption 3-5 times a day, Merapi could be said as the most active volcano in the world. This lava is visible in beautiful sight from 3 places; first, from Pos Pengamatan Merapi Babadan (monitoring base in Babadan); second, from Jurang Jero, and third, from Kaliurang. The last one is one of tourist landmarks of Jogjakarta.

So, Tourists….. Welcome to Merapi tour, have a nice day.

This article is mostly taken from: 4arion.wordpress.com